Selamat Datang!

Terima kasih atas kunjungannya, jangan lupa tinggalkan komentar, OK!

Tab

Minggu, 10 April 2011

Eliminasi Fekal


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Eliminasi produk sisa pencernaan yang teratur merupakan aspek yang penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi dapat menyebabkan masalah pada sistem gastrointestinal dan sistem tubuh lainnya. Karena fungsi usus bergantung pada keseimbangan beberapa factor, pola dan keseimbangan eliminasi bervariasi diantara individu. Namun, telah terbukti bahwa pengeluaran feses yang sering, dalam jumlah besar, dan karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus dengan rendahnya insiden kanker kolorektal (Robinson dan Weigley,1989).
Untuk menangani masalah eliminasi klien,perawat harus memahami eliminasi normal dan factor-faktor yang meningkatkan atau menghambat eliminasi. Asuhan keperawatan yang mendukung akan menghormati privasi dan kebutuhan emosional klien. Tindakan yang dirancang untuk meningkatkan eliminasi normal juga harus meminimalkan rasa ketidaknyamanan.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa itu pencernaan normal dan eliminasi?
2.      Apa saja faktor yang mempengaruhi eliminasi?
3.      Masalah defekasi apa yang umum terjadi?
4.      Apa itu deversi usus?
5.      Bagaimana proses keperawatan dalam eliminasi fekal?

C.    TUJUAN DAN MANFAAT
1.      Mengetahui tentang pencernaan normal dan eliminasi
2.      Mengetahui faktor yang mempengaruhi eliminasi
3.      Mengetahui masalah defekasi yang umum terjadi
4.      Memahami tentang deversi usus
5.      Mengetahui proses keperawatan dalam eliminasi?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pencernaan Normal dan Eliminasi
      Saluran  gastrointestinal (GI) merupakan serangkaian organ muskular berongga yang dilapisi oleh membran mukosa (selaput lendir). Tujuan kerja organ lain ialah mengabsorpsi cairan dan nutrisi, menyiapkan makanan untuk diabsorpsi dan digunakan oleh sel-sel tubuh,  serta menyediakan tempat penyimpanan feses sementara. Saluran Gi mengabsorpsi cairan dalam jumlah besar sehingga fungsi utama sistem GI adalah membuat keseimbangan cairan. Selainmenelan cairan dan makanan, saluran GI juga menerima banyak sekresi dari organ-organ seperti kandung empedu dan pankreas. Setiap kondisi yang secara seriua menganggu absorpsi atau sekresi normal cairan GI, dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan.

1. Mulut
      Saluran GI secara mekanis dan kimiawi memecah nutrisi ke ukuran dan bentuk yang sesuai.Pencernaan  kimia dan mekanis dimulai di mulut. Gigi mengunyah makanan, memecahnya menjadi berukuran yang dapat ditelan. Sekresisaliva mengandung enzim, seperti ptialin, yang mengawali pencernaan unsur-unsur makanan tertentu. Saliva mencairkandan melunakan bolus makanan di dalam mulut sehingga lebih mudah ditelan.

2. Esofagus
      Begitu makanan memasuki bagian atas esofagus, makanan berjalan melalui sfingter esofagus bagian atas, yang merupakan otot sirkular yang mencegah udara memasuki esofagus dan makanan mengalami refluks ( bergerak ke belakang ) kembali ke tenggorok. Makanandidrong oleh gerakan peristaltik lambat yang dihasilkanoleh kontraksi  involunter dan relaksasi otot halus secara bergantian. Pada saat bagian esofagus berkontraksi di atas bolus makanan ,otot sirkular di bawah (atau di depan) bolus berelaksasi. Kontraksi- relaksasi otothaus yang saling bergantian ini mendorong makanan menuju gelombang berikutnya.


3. Lambung
      Di dalam lambung, makanan disimpan untuk sementara dan secara mekanis dan kimiawi dipecah untuk dicerna dan diabsorpsi. Lambung menyekresi asam hidroklorida (HCL), lendir, enzim pepsin dan faktor intrinsik.Faktor intrinsik adalah komponen oenting yang dibutukan untuk absorpsivitamin B12 di dalam usus dan selanjutnya untuk pembentukan sel  darah merah normal. Kekurangan faktor intrinsik ini mengakibatkan anemia pernisiosa. Sebelum makanan meninggalkan lambung, makanan di ubah menjadi materi semicair yang disebut kimus.

4. Usus Halus
      Usus halus merupakan sebuah saluran dengan diameter sekitar 2,5 cmdan panjang 6 m. Usus halus dibagi menjadi tiga yaitu duodenum,jejenum dan ileum. Kimus bercampur dengan enzim-enzim pencernaan (misalnya empedu dan amilase ) saat berjalan melalui  usus halus. Kebanyakan nutrisi dan elektrolit diabsorbsi di dalam usus halus. Enzim dari pankreas dan empedu dari kandung empedu dilepaskan ke dalam duodenum. Enzim didalam usus halus memecah lemak,protein dan karbohidrat menjadi unsur-unsur dasar. Nutrisi hampir seluruhnya diabsorspi olehduodenum dan jejunum. Ileum mengabsorpsi vitamin-vitamin tertentu, zat besi dan garam empedu. Apabilafungsi ileum terganggu proses pencernaan akan mengalami perubahan besar.

5. Usus Besar
 Saluran GI bagian bawah disebut usus besar(kolon) karena ukuran diameternya lebih besar daripada usus halus. Namun panjangnya yakni 1,5 sampai 1,8 jauh lebih pendek. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Usus besar merupakan organ utama dalam eliminasi fekal.

6. Sekum
      Kimus yang tidak diabsorpsi memasuki sekum melalui  katup ileosekal. Katup ini merupakanlapisan otot sirkular yangmencegah regurgitasi dan kembalinya isi kolon ke usus halus.



7. Kolon
      Kolon dibagi menjadi kolon asendens, kolon transversal, kolon desendendan kolon sigmoid. Kolon dibangun oleh jaringan otot, yang memungkinkannya menampung dan mengeliminasi produk buangan dalam jumlah besar.Kolon memiliki empat fungsi yang saling berkaitan : absorpsi, proteksi, sekresi, dan eliminasi. Pada waktu makanan bergerak melalui kolon terjadi kontraksi haustral.
      Sebanyak 2,5 L air dapat diabsorpsi oleh kolon dalam 24 jam. Rata-rata 55mEq natrium dan 23 mEq klorida diabsorpsi setiap hari. Jumlah air yang diabsorpsi  dari kimus tergantung pada kecepatan pergerakan isi kolon. Kimus dalam kondisi normal bersifat lunak, berbentuk masa. Fungsi sekresi kolon membantu keseimbangan asam basa.  Kontraksi peristaltik yang lambat menggerakan isi usus ke kolon. Isi usus adalah stimulus utama untuk terjadinya kontraksi. Saatterjadi gerakan peristaltik masa terjadi segmen besar kolon berkontraksi akibat respon reflek gastrokolik dan deudenokolik.

8. Rektum
      Produk buangan yang mencapai bagian kolon yang sigmuid, disebut feses. Rektum merupakan bagian akhir pada bagian GI. Dalam kondisi normal rektum tidak berisi feses sampai defekasi. Rektum dibangun oleh lipatan-lipatan jaringan vertikal dan transversal. Setiap lipatan vertikal berisi sebuah arteri dan lebih dari satu vena. Apabila vena menjadi distensi akibat tekanan selama mengedan maka disebut hemoroid.  Hemoroid dapat membuat defekasi terasa nyeri. Saat sfingter interna relaksasi, sfingter eksterna juga relaksasi. Apabila waktu untuk defekasi  tidak tepat konstriksi otot levatorani membuat anus tertutup dan defekasi tertunda. Tekanan untuk mengeluarkan feses dapat dilakukan dengan meningkatkan tekanan intraabdomen atau melakukan valsava manuver. Manuver Valsava ialah konstraksi volunter otot-otot abdomen saat individu mengeluarkan nafas secara paksa, sementara glotis menutup (menahan napas saat mengedan ).

B.     Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi
Banyak faktor yang mempengaruhi proses eliminasi fekal. Pengetahuan tentang faktor-faktor ini memungkinkan perawat melakukan tindakan antisipasi yang diperlukan untuk mempertahankan pola eliminasi normal. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi eliminas tersebut yakni :
  1. Usia
Perubahan dalam tahap perkembangan yang mempengaruhi status eliminasi terjadi di sepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit menyekresi enzim pencernaaan. Beberapa makanan, seperti zat pati yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Makanan melewati saluran pencernaan dengan kurangnya perkembangan neuromuscular. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai usia 2 sampai 3 tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCl meningkat, khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengonsumsi makanan dalam jumlah lebih besar.
Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi (Lueckenotte, 1994). Beberapa perubahan pada saluran GI, yang berlangsung seiring dengan proses penuaan. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan, yang memasuki saluran GI, hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan di dalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring dengan proses penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim lipase.
Lansia yang dirawat di rumah sakit terutama berisiko mengalami perubahan fungsi usus. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa terdapat 91% insiden diare atau konstipasi dalam populasi lansia yang berjumlah 33 orang, yang di rawat di rumah sakit, dengan usia rata-rata 76 tahun (Ross, 1990).
Selain itu, gerakan [eristaltik menurun seiring dengan peningkatan usia dan melambatnya pengosongan esophagus yang melambat dapat menimbulkan rasa tidak nyaman di bagian epigaster abdomen. Materi pengabsorpsian pada mukosa usus beubah, menyebabkan protein, vitamin, dan mineral berkurang. Lansia juga kehilangan tonus otot pada otot dasar perineum dan sfingter anus. Walaupun integritas sfingter eksterna tetap utuh, lansia mungkin mengalami kesulitan dalam mengontrol pengeluaran feses. Beberapa lansia kurang menyadari kebutuhannya untuk berdefekasi akibat melambatnya impuls saraf sehingga mereka cenderung mengalami konstipasi.



  1. Diet
Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu mempertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat, residu makanan yang tidak dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan feses. Dinding usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi. Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makanan berserat sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan feses tetap lunak. Makan-makanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi (masa) :
1.      Buah-buahan mentah (apel, jeruk)
2.      Buah-buahan yang diolah (prum, apikrot)
3.      Sayur-sayuran (bayam, kangkung, kubis)
4.      Sayur-sayuran mentah (seledri, mentimun)
5.      Gandum utuh (sereal, roti)
Mengonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola eliminasi jika factor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi, meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan pedas dapat meningkatkan peristaltic, tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan feses menjadi encer.
Beberapa jenis makanan, seperti susu dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi terhadap makanan tertentu dapoat mengakibatkan diare, distensi gas, dank ram.

  1. Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan (seperti muntah) mempengrauhi karakter feses. Asupan cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400 sampai 2000ml) cairan stiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat peristaltic pada beberapa induvidu dan menyebabkan konstipasi.

  1. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik meningkatkan peristaltic, sementara imobilisasai menekan motilitas kolon. Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya eliminasi normal.
Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.

  1. Faktor Psikologis
Fungsi dari hamper semua system tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respon stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, system saraf otonom memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun. Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit Crohn. Upaya penelitian berulang yang dilakuakn sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa penyebab klien mengalami penyakit tersebut adalah karena meiliki kondisi psikopatologis. Namun, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut (Cooke, 1991).

  1. Kebiasaan Pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan mengakibatkan perubahan, seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbauk untuk melaksanakan eliminasinya. Refleks gastrokolik adalah reflex yang paling mudah distimulasi untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.
Klien yang dirawat di rumah sakit jarang dapat mempertahankan privasi saat melakukan defekasi. Fasilitas kamar mandi seringkali digunakan bersama-sama dengan teman sekamarnya, yang kebiasaan higienenya mungkin cukup berbeda. Penyakit yang diderita klien sering membatasi aktivitas fisiknya dan ia membutuhkan pispot atau commode yang ditempatkan di samping tempat tidurnya. Pemandangan, suara, dan bau yang dihubungkan dengan kondisi tempat fasilitas toilet digunakan bersama-bersama atau saat menggunakan pispot sering menimbulkan rasa malu. Rasa malu membuat klien mengabaikan kebutuhannya untuk berdefekasi, yang dapat memulai siklus rasa tidak nyaman yang hebat.

  1. Posisi Selama Defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak kearah depan, mengeluarkan tekanan intaabdomen dan mengontraksi otot-otot pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti arthritis, mungkin tidak mampu bangkit dari temapat duduk toilet yang rendah. Alat untuk meninggikan tempat duduk di toilet memapukan klien untuk bangun dari posisi duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang menggunakan alat tersebut dan individu yang berpostur pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia menekuk pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi duduk yang lebih normal pada pispot akan menibfkatkan kemampuan defekasi.

  1. Nyeri
Dalam kondidi noramal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasuk hemoroid, bedah rectum, fistula rectum, bedah abdomen, dan melaho\irkan anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini, klien seringkali mansupresi keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari rasa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi.
  1. Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada rectum. Obstruksi sementara akibat keberadaan fetus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum ang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamil yang sering mengedan selama defekasi dapat menyebabkan terbentuknya hemoroid yang permanen.

  1. Pembedahan dan Anestesi
Agens anestesi, yang dugunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Klien yang menerima aneatesia local atau regional beresiko lebih kecil untuk mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikit atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi inj disebut ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 samapi 48 jam.

  1. Obat-obatan
Obat-obat untuk meningkatkan defekasi telah tersedia yakni, Laksatif dan katartik melunakkan feses dan meingkatkan peristaltic. Walaupun sama, kerja laksatif lebih ringan daripada katartik. Penggunaan katartik dalam jangka waktu lama menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang responsive terhadap stimulasi yang diberikan oleh laksatif. Penggunaan laksatif yang berlebihan juga dapat menyebabkan diare berat yang dapat menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit.
Obatobatan seperti disiklomin HCl (Bentyl) menekan gerakan peristaltic dan mengobati diare. Obat analgestik narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumna menyebabkan konstipasi. Obat-obatan antikolinergik, seperti atropine atau glikopirolat (Robinal), menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walaupun bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat menyebabkan konstipasi.



  1. Pemeriksaan Diagnostik
Pemerikasaan diagnostic, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi di bagian usus. Klien tidak diijinkan untuk makan atau minum setelah tengah malam jika esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah, atau serangkaian pemeriksaan saluran GI bagian atas.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium mengeras jka dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang pasien harus menerima katartik untuk meningkatkan eleminasi barium setelah prosedur dilakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.

C.    Masalah Defekasi yang Umum

1.      Inkontinensia
Merupakan ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses dan gas dari anus. Kondisi fisik yang merusakan fungsi atau control sfingter anus dapat menyebabkan inkontinensial. Kondisi yang sering membuat defekasi, feses encer, volume banyak, dan feses mengandung air juga mempredisposisi individu untuk mengalami inkontinensial. Inkontinensial dapat membahayakan citra tubuh klien. Dalam banyak situasi  klien secara mental menyadari tetapi secara fisik tidak mampu mencegah defekasi.

2.      Flatulen
Flatulen adalah penyebab umum abdomen mejadi penuh, rasa nyeri dan kram. Dalam kondisi normal, gas dalam usus keluar melalui mulut ( bersendawa) atau melalui anus (pengeluaran flaktus).  Namun jika ada penurunan mortilitas khusus akibat penggunaan opiate, agens anestesi umum, bedah abdomen, atau immobilisasi, flatulen dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan distensi abdomen dan menimbulkan nyeri yang terasa sangat menusuk.

3.      Hemoroid
Hemoroid adalah vena-vena yang berdilatasi, membengkak dilapisan rectum. Ada dua jenis hemoroid yakni hemoroid eksternal dan hemoroid internal.
4.      Konstipasi
Konstipasi adalah penurunan frekuensi defikasi yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering. Adanya upaya mngedan saat defikasi adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi. Konstipasi merupakan bahaya yang signifiakan terhadap kesehatan. Mengedan selama defekasi menimbulakan masalah pada klien yang baru menjalani bedah abdomen, ginetologi, atau bedah rectum.

5.      Impaksi
Impaksi aadalah kumpulan feses yang mengeras, mengendap didalam rectum, yang tidak dapat dikeluarkan. Tanda impaksdi yang jelas ialah ketidakmampuan untuk mengeluarkan feses selama beberapa hari, walaupun terdapat keinginan berulang untuk melakukan defekasi. Porsi cairan didalam feses yang terdapat lebih banyak dikolon meresap[ kersekitar massa yang mengalami impaksi.

6.      Diare
Diare adalah peningkatan jumlah feses dan peningkatan pengeluaran feses yang cair dan tidak terbentuk.Diare merupakan gejala gangguan yang memprngaruhi proses pencernaan, arbsorbsi dan sekresi didalam saluran GI. Iritasi didalam kolon dapat menyebabkan peningkatan bsekresi lender. Akibatnya feses menjadi lebih encer sehingga klien menjadi tidak mampu mengontrol keinginan untuk defekasi.

D.    Deversi Usus
Penyakit tertentu mnyebabkan kondisi-kondisi yang mencegah pengeluaran feses secara normal dari rectum. Ini menimbulkan suatu kebutuhan untuk membentuk suatu lubang (stoma) biuatan yang permanen atau sementara. Lubang yang dibuat melalui upaya bedah paling sering dibentuk di ileum (ileostomi) atau dikolon (kolostomi). Ujung usus kemudian itarik ke sebuah lubang di dinding abdomen untuk membentuk stoma. Tergantung pada tipe prosedur bedah yang dilakukan, jenis stoma yang dibentuk ada dua, yakini klien tidak akan memiliki control terhadap materi feses yang keluar dari stoma atau klien memiliki control terhadap pengeluaran feses.

1.      Ostomi Inkontinen
Sebuah ileostomi merupakan jalan pintas keluarnya feses sehingga feses tidak melalui seluruh bagian usus besar. Akibatnya, feses kluar lebih sering dan berbentuk cair. Feses yang keluar lebih sering dan cair  juga terjadi pada kolostomi dikolon asenden. Kolostomi pada transversal umumnya menghasilkan feses lebih padat dan berbentuk. Kolostomi sigmoid menghasilkan feses yang mendekati bentuk feses normal.

2.      Ostomi Kontinen
Ostomi kontinen ini juga disebut deversi kontinen atau reservoir kontinen. Pada sebuah prosedur yang disebut ileoanal pull-through. Kolon diangkat dan ileo dianastomosis atau disambungkan ke sfingter anus yang utuh. Tidak setiap klien yang menjalani kolestomi merupakan kandidat untuk dilakukan prosedurnya ini. Untuk menentukan kriteria pilihan, dibutuhkan koordinasi yang baik antara klien dan ahli bedah.
Ileostomi kontinen Kock adalah tipe ostomi kontinen lain yang baru. Pada prosedur ini reservoir atau kantung internal dibentuk dari potongsan usus halus klien. Bagian kantung ditarik keluar ke abdomen klien sebagai sebuah stoma enteral. Tidak seperti stoma ostomi lainya, stoma eksternal dari ileostomi kontinen Kock biasanya terletak sangat rendah pada abdomen klien. Biasanya garis celana dalam klien. Pada bagian ujung kantung internal terdapat tonjolan katup satu arah, yang memungkinkan pencapaian kontinensia. Katup ini hanya memungkinkan isi feses keluar dari kantung jika kateter eksterna ditempatkan kedalam stoma secara intermiten. Karena kandungan feses hanya dikeluarkan dari kantung Kock jika diintubasi dengan kateter, tidak eperti individu lain yang menggunakan ostomi, klien tidak perlu mengenakan sebuah kantung ostomi.


3.      Pertimbangan Psikologis
 Sebuah Ostomi dapat menimbulkan perubahan citra tubuh yang serius, terutama jika ostomi bersifat permanen. Klien sering sering mempersepsikan stoma sebagai suatu bentuk pemotongan. Walaupun pakian menutupi ostomi, klien merasa berbeda. Banyak klien memiliki kesulitan untuk mempertahankan atau memulai hubungan seksual yang normal. Faktor penting dalam reaksi klien adalah karakter sekresi feses dan kemampuan untuk mengontrolnya. Bau busuk, tumpahan atau kebocoran feses yang encer dan ketidakmampuan mengatur defekasi membuat klien  kehilangan harga diri.

E.     Proses Keperawatan Eliminasi Fekal
1)   Pengkajian
Perawat melakukan pengkajian fisik, system dan fungsi tubuh yang kemungkinan dipengaruhi oleh adanya eliminasi fekal. Perawat mengkaji mulut, struktur gigi, melakukan inspeksi abdomen melihat kesimetrisan bentuk dalam kuadran abdomen, warna kulit perut, gelombang peristaltic. Jika perlu perawat menginspeksi daerah anus, lihat adanya lesi, warna, inflamasi dan hemoroid. Pengkajian dapat dilakukan dengan menginspeksi karakteristik fase dengan mengumpulkan specimen feses.

2).  Diagnosa
Inkotinensia bowel berhubungan dengan
-          Neuromuscular
-          Faktor lingkungan
-          Diet, pengobatan
-          Diare kronik
-          Defisit perawatan diri
-          Kehilangan control spinkter rectal
-          Depresi
-          Defisit perawatan

Konstipasi berhubungan dengan
-    Fungsional    :           a. Perubahan lingkungan
b. Kebiasaan menghindari keinginan defekasi, BAB tidak teratur.
c. kelemahan otot abdomen, toileting tak adekuat.

-          Psikologis   :          a. Depresi
b. Stres emosional
c. Kebingungan mental

-          Farmakologis  : antikonvulsan, laksatif overdosis, opiate, antidepresan, antilipemik, diuretic, antacid dengan aluminium.
-          Mekanik     :          a. abses rectum, fissura anal
b. Megakolon prolaps rectal
c. Klemahan neurologis
d. Hemoroid
e. Kehamilan

-          Fisiologis  :            a. Kebiasaan makan buruk, dehidrasi
b. Kebersihan mulut tidak adekuat
c. Perubahan pola makan

Diare berhubungan dengan
·         Stres
·         Asupan Diet
·         Alkoholic
·         Keracunan
·         Penyalahgunaan laksatif
·         Inflamasi
·         Malabsorbsi
·         Iritasi

3).  Perencanaan
           Implementasi meningkatkan pola defekasdi normal, implementasi pemberian terapi medikasi sperti persiapan antidiare dan enema, mengatasi impaksi, pendidikan kesehata, memberikan perawatan khusus untuk klien dengan ostomi, dan mengajarkan mereka tentang ostomi. Perencanaan ini beryujuan agar klien mempertahankan atau mengembalikan pola eliminasi normal. Klien yang mengalami diare berkepanjangan, mempertahankan keseimbangan cairan merupakan tujuan utama.

4).  Implementasi

Secara umum intake cairan secara tepat mengukur intake dan output cairan membantu mempertahankan berkemih secara normal.


Diagnosa : Diare berhubungan dengan asupan diet
Intervensi
Outcome
Implementasi

Menejement diare

Mencegah dan mengobati diare
1.      Identifikai factor penyebab diare
2.      Mengajarkan klien untuk intake nutrisi yang berserat
3.      Monitor kulit diarea perineal dari iritasi dan ulceratif



Diagnosda : Inkotinensia Bowel berhubungan dengan diet

Intervensi
Outcome
Implementasi
Bowel training
Mengkaji klien untuk melatih pola eliminasi sampai mengevaluasi
1.      Memberi intake nutrisi  yang adekuat
2.      Merencanakan program defekasi bersama klien
3.      Gunakan supositoria jika diperlukan


5). Evaluasi
 Perawat mengevaluasi keberhasilan intervensi. Perawat harus empersiapkan untuk   mengubah rencana jika tidak berhasil.

 BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Eliminasi fekal merupakan proses pembuangan sisa metabolisme tubuh yang tidak terpakai. Eliminasi  yang teratur  dari sisa-sisa produk usus penting untuk fungsi tubuh normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh lain karena sisa-sisa produk adalah racun. Jumlah fese yang dikeluarkanpun berfarisasi jumlahnya tiap individu. Fese normal mengandung 75 % air dan 25 % materi padat. Feses normal berwarna coklat karena adanya sterkobilin dan uriubilin yang berasal dari bilirubin. Warna feses dapat dipengaruhi oleh kerja Escherecia coli. Flatus yang dikeluarkan orang dewasa selama 24 jam yaitu 7-10 lt flatus dalam usus besar. Kerja mikroorganisme mempengaruhi bau feses. Fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa factor, pola eleminasi dan kebiasaan masing-masing orang berbeda.

B.     SARAN
Sebagai mahasiswa perawat sebaiknya kita harus mengetahui pola – pola dan waktu eliminasi fekal dari pasien. Banyak faktor – faktor yang harus diperhatikan untuk menghindari munculnya masalah baru dan perawat harus mampu memahami pemenuhan kebutuhan eliminasi fekal.
 


DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry,1999.Fundamental Keperawatan: konsep, proses, dan praktik, edisi 4.Jakarta:EGC.
Saryono & Anggriyana Tri Widianti,2010. Kebutuhan Dasar Manusia: yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya teman - teman, untuk menjadikan blog ini semakin berkualitas dan bermanfaat. Terima Kasih :)

Daftar Isi Blog