BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dewasa
ini ilmu pengetahuan dan tekhnologi di bidang kedokteran dan kesehatan
berkembang dengan pesat. Salah satunya
adalah kemajuan dalam tekhnik transplantasi organ. Transplantasi organ
merupakan suatu tekhnologi medis untuk penggantian organ tubuh pasien yang
tidak berfungsi dengan organ individu lain. Sejak kesuksesan transplantasi yang
pertama kali berupa ginjal dari donor kepada pasien gagal ginjal pada tahun
1954, perkembangan dibidang transplantasi
maju dengan pesat. Kemajuan ilmu dan tekhnologi memungkinkan pengawetan
organ , penemuan obat-obatan anti penolakan yang semakin baik sehingga berbagai
organ dan jaringan dapat ditransplantasikan. Dewasa ini bahkan sedang dilakukan
uji klinis pengguna hewan sebagai donor.
Dibalik
kesuksessan dalam perkembangan transplantasi organ muncul berbagai masalah.
Semakin meningkatnya pasien yang membutuhkan transplantasi, penolakan organ,
komplikasi pasca transplantasi, dan resiko yang mungkin timbul akibat
transplantasi telah memunculkan berbagai masalah etika, legalitas dan kebijakan
yang menyangkut pengguna tekhnologi itu.
Pada
makalah ini akan dibicarakan berbagai masalah etika yang timbul sejalan dengan perkembangan ilmu dan tekhnologi
transplantasi organ,masalah etika utama dalam transplantasi, bagaimana
kebijakan Indonesia mengenai transplantasi dan betapa pentingnya nilai-nilai
etika dalam mempertahankan suatu sistem nilai dan dalam penentuan kebijakan
pemerintah.
1.2.
Sejarah Transplantasi Organ
Sejarah
dan perkembangan Transplantasi Tahun 600 SM di India, Susruta telah melakukan
transplantasi kulit. Sementara jaman Renaissance, seorang ahli bedah dari
italia bernama Gaspare Tagliacozzi juga telah melakukan hal yang sama. Diduga
John hunter (1728-1793) adalah pioneer
bedah eksperimental, termasuk bedah transplantasi. Dia mampu membuat criteria
tekhnik bedah untuk menghasilkan suatu jaringan transplantasi yang tumbuh
ditempat baru. Akan tetapi sistim golongan darah dan sistim histokompatibilitas
yang erat dengan reaksi transplantasi belum ditemukan.
Pada
abad ke – 20, wiener dan Landsteiner menyokong perkembangan transplantasi
dengan menemukan golongan darah system ABO dan system Rhesus. Saat ini
perkembangan ilmu kekebalan tubuh makin berperan dalam keberhasilan tindakan
transplantasi.
Perkembangan
tekhnologi kedokteran terus meningkat searah dengan perkembangan tekhnik
transplantasi. mu transplantasi modern makin berkembang dengan ditemukannya
metode-metode pencangkokan, seperti:
- Pencangkokan
arteria mammaria interna didalam operasi lintas koroner olah Dr. George E. Green.
- Pencangkokan
jantung, dari jantung kera kepada manusia oleh Dr. Cristian Bernhard,
walaupun resepiennya kemudian meninggal dalam 18 hari.
- Pencangkokan
sel-sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke penderita parkison
oleh Dr. Andreas bjornklund
1.2 Tujuan
1.2.1
Untuk mengetahui
pengertian tranplantasi
1.2.2
Untuk mengetahui macam-macam tranplantasi
1.2.3
Untuk mengetahui pandangan tranplantasi dari
segi agama
1.2.4
Untuk mengetahui hukum tranplantasi
1.4
Rumusan Masalah
1.4.1
Apakah pengertian tranplantasi ?
1.4.2
Apakah macam-macam dari tranplantasi ?
1.4.3
Bagaimana pandangan tranplantasi dari segi agama
?
1.4.4
Bagaimana hukum tranplantasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Tranplantasi
Transplantasi
Organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu ke tubuh satu tubuh ketubuh
yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama.
Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak
berfungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor.
Donor organ dapatmerupakan orang yang masih hidup ataupun telah meninggal.
Penggunaan
organ tubuh mayat manusia untuk pengobatan manusia dan untuk kelangsungan
hidupnya merupakan suatu kemaslahatan yang dituntut syarak. Oleh sebab itu,
dalam keadaan darurat organ tubuh mayat dapat dimanfaatkan untuk pengobatan.
Akan tetapi mafaat organ tubuh mayat manusia sebagai obat tersebut harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
-
Pengobatan tidak bisa dilakukan kecuali dengan
organ tubuh mayat manusia
-
Manusia yang diobati itu adalah orang yang haram
darahnya( seseorang yang memelihara kehormatannya).
-
Apabila jiwa yang akan diselamatkan itu adalah
orang yang halal darahnya (seperti seorang yang telah melakukan hukuman kisas
atau seorang yang akan dikenai hukuman rajam karena berbuat zina) maka manfaat organ tubuhmayat tidak boleh
dibaginya
-
Penggunaan organ tubuh manusia itu benar-benar
dalam keadaan darurat
-
Penggunaan organ tubuh mayat manusia itu
mendapat izin dari orang tersebut(sebeum wafat) atau ahli warisnya (setelah
wafat)
2.2 Jenis-Jenis Tranplantasi
Menurut Arifin (2009), beberapa jenis transplantasi atau
pencangkokan, baik berupa sel, jaringan maupun organ tubuh yaitu sebagai
berikut :
1. Transplantasi
Autologus, yaitu perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam tubuh itu
sendiri.
2. Transplantasi
Alogenik, yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang sama spesiesnya,
baik dengan hubungan keluarga atau tanpa hubungan keluarga.
3. Transplantasi
Sinergik, yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang identik, misalnya
pada kembar identik.
4. Transplantasi
Xenograf, yaitu perpindahan dari satu tubuh lain yang tidak sama spesiesnya.
Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat
diambil dari donor yang hidup atau dari jenazah orang yang baru meninggal
dimana meninggal sendiri didefinisikan kematian batang otak.
1. Organ-organ
yang diambil dari donor hidup seperti : kulit ginjal sumsum tulang dan darah (transfusi
darah).
2. Organ-organ
yang diambil dari jenazah adalah jantung, hati, ginjal, kornea, pankreas,
paru-paru dan sel otak.
Ada dua komponen penting yang mendasari tindakan
transplantasi (nursing-transplan.blogspot.com), yaitu :
1. Eksplantasi,
yaitu usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hidup atau yang sudah
meninggal.
2. Implantasi,
yaitu usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada bagian tubuh
sendiri atau tubuh orang lain.
Disamping itu, ada dua komponen penting yang menunjang
keberhasilan tindakan traplantasi, yaitu :
1. Adaptasi
donasi, yaitu usaha dan kemampuan menyesuaikan diri orang hidup yang diambil
jaringan atau organ tubuhnya, secara biologis dan psikis, untuk hidup dengan
kekurangan jaringan atau organ.
2. Adaptasi
resepien, yaitu usaha dan kemampuan diri dari penerima atau organ tubuh baru
sehingga tubuhnya dapat menerima atau menolak jaringan atau organ tersebut,
untuk berfungsi baik, mengganti yang sudah tidak dapat berfungsi lagi.
Semakin berkembangnya ilmu tranplantasi modern, ditemukan
metode-metode pencangkokan (nursing-transplan.blogspot.com), seperti :
1. Pencangkokan
arteria mammaria interna di dalam operasi lintas koroner oleh Dr. George E.
Green.
2. Pencangkokan
jantung, dari jantung ke kepada manusia oleh Dr. Cristian Bernhard, walaupun
resepiennya kemudian meninggal dalam waktu 18 hari.
3. Pencangkokan
sel-sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke penderita Parkinson oleh
Dr. Andreas Bjornklund.
2.3
Pandangan
Tranplantasi dari Segi Agama
A.
Pandangan
menurut agama hindu
Berdasarkan prinsip-prinsip ajaran agama,
dibenarkan dan dianjurkan agar umat Hindu melakukan tindakan transplantasi
organ tubuh sebagai wujud nyata pelaksanaan kemanusiaan (manusa yajna).
Tindakan kemanusiaan ini dapat meringankan beban derita orang lain. Bahkan,
transplantasi organ tubuh ini tidak hanya dapat dilakukan pada orang yang telah
meninggal, melainkan juga dapat dilakukan pada orang yang masih hidup,
sepanjang ilmu kedokteran dapat melakukannnya dengan tetap mengindahkan
nilai-nilai kemanusiaan (Heri, 2008).
Menurut ajaran Hindu transplantasi organ tubuh
dapat dibenarkan dengan alasan, bahwa pengorbanan (yajna) kepada orang
yang menderita, agar dia bebas dari penderitaan dan dapat menikmati kesehatan
dan kebahagiaan, jauh lebih penting, utama, mulia dan luhur, dari keutuhan
organ tubuh manusia yang telah meninggal. Tetapi sekali lagi, perbuatan ini
harus dilakukan diatas prinsip yajna yaitu pengorbanan tulus iklas tanpa
pamrih dan bukan dilakukan untuk maksud mendapatkan keuntungan material. Alasan
yang lebih bersifat logis dijumpai dalam kitab Bhagawadgita II.22 sebagai
berikut: “Wasamsi jirnani yatha wihaya nawani grihnati naro’parani, tatha
sarirani wihaya jirnany anyani samyati nawani dehi” Artinya: seperti halnya
seseorang mengenakan pakaian baru dan membuka pakaian lama, begitu pula Sang
Roh menerima badan-badan jasmani yang baru, dengan meninggalkan badan-badan
lama yang tiada berguna. Kematian adalah berpisahnya Jiwatman atau roh dengan
badan jasmani ini. Badan Jasmani atau sthula sarira (badan kasar)
terbentuk dari Panca Maha Bhuta (apah = unsur cair, prethiwi =
unsur padat, teja= unsur sinar, bayu = unsur udara dan akasa = unsur
ether) ibarat pakaian. Apabila badan jasmani (pakaian) sudah lama dan
rusak, kita akan membuangnya dan menggantikannya dengan pakaian yang baru
(Heri, 2008).
Prinsip kesadaran utama yang diajarkan dalam
agama Hindu adalah bahwa badan identitas kita yang sesungguhnya bukanlah badan
jasmani ini, melainkan adalah Jiwatman (roh). Badan jasmani merupakan benda
material yang dibangun dari lima zat (Panca Maha bhuta) dan akan hancur
kembali menyatu ke alam makrokosmos dan tidak lagi mempunyai nilai guna.
Sedangkan Jiwatman adalah kekal, abadi, dia tidak mati pada saat badan jasmani
ini mati, senjata tidak dapat melukaiNya, api tidak bisa membakarNya, angin
tidak bisa mengeringkan-Nya dan air tidak bisa membasahi-Nya.Wejangan Sri
Kresna kepada Arjuna dalam Bhagawadgita: “Engkau tetap kecil karena sepanjang
waktu engkau menyamakan dirimu dengan raga jasmani. Engkau berpikir, “Aham
dehasmi”, ‘aku adalah badan’, pikiran ini menyebabkan engkau tetap
kecil. Tetapi majulah dari aham dehasmi ke aham jiwasmi, dari aku
ini raga ke aku ini jiwa, percikan Tuhan.
Berkat kemajuan dan
bantuan teknologi canggih di bidang medis (kedokteran), maka sistem
pencangkokan organ tubuh orang yang telah meninggalpun masih dapat dimanfaatkan
kembali bagi kepentingan kemanusiaan. Dialog spiritual Sri Kresna dengan Arjuna
dalam kitab Bhagawadgita dapat ditarik suatu makna bahwa badan jasmani ini
diumpamakan sebagai pakaian sementara bagi roh (atman) yang tidak kekal, mudah
rusak dan hancur, yang kekal adalah jiwatman. Oleh karena itu, ajaran Hindu
tidak melarang umatnya untuk melaksanakan transplantasi organ tubuh dengan dasar
yajna (pengorbankan tulus iklas dan tanpa pamrih) untuk kesejahteraan
dan kebahagiaan sesama umat manusia. Demikian pandangan agama Hindu terhadap
transplantasi organ tubuh sebagai salah satu bentuk pelaksanaan ajaran Panca
Yajna terutama Manusa Yajna.
B. Pandangan menurut agama Islam
Pendapat pertama
mengatakan, haram memanfaatkan organ tubuh manusia yang sudah meninggal, karena
sosok mayat manusia harus dihormati sebagaimana ia dihormati semasa hidupnya.
Landasannya, sabda Rasullulah saw., “Memotong tulang mayat sama dengan memotong
tulang manusia ketika masih hidup.” ( HR. Abu Daud)
Pendapat kedua menyatakan, memanfaatkan
organ tubuh manusia sebagai pengobatan dibolehkan dalam keadaan darurat.
Alasannya, hadits riwayat Abu Daud yang melarang memotong tulang mayat tersebut
berlaku jika dilakukan semena-mena tanpa manfaat. Apabila dilakukan untuk
Pengobatan,
pemanfaatan organ mayat tidak dilarang karena hadits yang memerintahkan
seseorang untuk mengobati penyakitnya lebih banyak dan lebih meyakinkan daripada
hadits Abu Daud tersebut.
Akan
tetapi pemanfaatannya harus mendapat ijin dari orang tersebut ( sebelum ia
wafat) atau dari ahli warisnya (setelah ia wafat). Tanpa mengurangi rasa hormat
kepada pendapat pertama, menurut hemat saya, pendapat kedua lebih logis untuk
diterima. Karena itu wajar kalau sebagian besar ulama madzhab Hanafi, Syafi’I,
Maliki, Hanbali, dan ulama Zaidyyah membolehkannya. Kesimpulannya, transpantasi
merupakan cara pengobatan Islam.
Menjadi pendonor hukumnya mubah (boleh) bahkan
bernilai ibadah kalau dilakukan dengan ikhlas asal tidak membinasakan pendonor
dan menjadi haram bila membinasakannya. Orang meninggal boleh dimanfaatkan
organnya untuk pengobatan dengan catatan sebelum wafat orang tersebut
mengizinkannya. Wallahu A’lam.
C.
Pandangan menurut agama Kristen
Pada umumnya, Gereja Katolik memperkenankan transplantasi organ tubuh.
Dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (= Injil Kehidupan), Bapa Suci Yohanes Paulus
II menyatakan, “… ada kepahlawanan harian, yang terdiri dari amal perbuatan
berbagi sesuatu, besar atau kecil, yang menggalang kebudayaan hidup yang
otentik. Teladan amal perbuatan yang secara khas layak dipuji seperti itu ialah
pendermaan organ-organ, yang dilaksanakan melalui cara yang dari sudut etika
dapat diterima, dengan maksud menawarkan kemungkinan kesehatan dan bahkan hidup
sendiri kepada orang sakit, yang kadang sudah tidak mempunyai harapan lain
lagi” (No. 86). Ajaran ini menggemakan Katekismus Gereja Katolik:
“Transplantasi sesuai dengan hukum susila dan malahan dapat berjasa sekali,
kalau bahaya dan resiko fisik dan psikis, yang dipikul pemberi, sesuai dengan
kegunaan yang diharapkan pada penerima” (No. 2296). Guna memahami ajaran ini
dengan lebih baik, marilah kita bergerak selangkah demi selangkah. Perlu
dicatat bahwa masalah ini pertama kali dibahas dengan jelas oleh Paus Pius XII
pada tahun 1950-an, dan kemudian disempurnakan sesuai dengan kemajuan-kemajuan
yang berhasil dicapai dalam bidang medis.
Pertama-tama, dibedakan antara transplantasi organ tubuh (termasuk jaringan)
dari seorang yang telah meninggal dunia ke seorang yang hidup, versus
transplantasi organ tubuh (termasuk jaringan) dari seorang yang hidup ke
seorang lainnya. Dalam kasus pertama, yaitu apabila donor organ tubuh adalah
seorang yang telah meninggal dunia, maka tidak timbul masalah moral. Paus Pius
XII mengajarkan, “Seorang mungkin berkehendak untuk mendonorkan tubuhnya dan
memperuntukkannya bagi tujuan-tujuan yang berguna, yang secara moral tidak
tercela dan bahkan luhur, di antaranya adalah keinginan untuk menolong mereka
yang sakit dan menderita. Seorang dapat membuat keputusan akan hal ini dengan
hormat terhadap tubuhnya sendiri dan dengan sepenuhnya sadar akan penghormatan
yang pantas untuk tubuhnya…. Keputusan ini hendaknya tidak dikutuk, melainkan
sungguh dibenarkan” (Amanat kepada Kelompok Spesialis Mata, 14 Mei 1956).
Pada dasarnya, apabila organ-organ tubuh dari seorang yang telah
meninggal dunia, seperti ginjal, hati, kornea mata, dapat menolong
menyelamatkan atau memperbaiki hidup seorang lainnya yang masih hidup, maka
transplantasi yang demikian adalah baik secara moral dan bahkan patut dipuji.
Patut dicatat bahwa donor wajib memberikan persetujuannya dengan bebas dan
penuh kesadaran sebelum wafatnya, atau keluarga terdekat wajib melakukannya
pada saat kematiannya: “Transplantasi organ tubuh tidak dapat diterima secara
moral, kalau pemberi atau yang bertanggung jawab untuk dia tidak memberikan
persetujuan dengan penuh kesadaran” (No. 2296).
Satu peringatan perlu disampaikan di sini: Keberhasilan suatu
transplantasi organ tubuh sangat bergantung pada kesegaran organ, artinya bahwa
prosedur transplantasi harus dilakukan sesegera mungkin begitu donor meninggal
dunia. Namun demikian, donor tidak boleh dinyatakan meninggal dunia secara dini
atau kematiannya dipercepat hanya agar organ tubuhnya dapat segera
dipergunakan. Kriteria moral menuntut bahwa donor sudah harus meninggal dunia
sebelum organ-organ tubuhnya dipergunakan untuk transplantasi. Demi menghindari
konflik antar kepentingan, Uniform Anatomical Gift Act memprasyaratkan, “Saat
kematian hendaknya ditetapkan oleh dokter yang mendampingi donor pada saat
kematiannya, atau, jika tidak ada, dokter yang menyatakan kematiannya. Dokter
tersebut tidak diperkenankan untuk ikut ambil bagian dalam prosedur pengambilan
atau transplantasi organ tubuh” (Section 7 (b)). Meski peraturan ini tidak
mendatangkan dampak atas moralitas transplantasi organ tubuh itu sendiri, namun
martabat orang yang menghadapi ajal wajib dilindungi, dan mempercepat kematian
atau mengakhiri hidupnya demi mendapatkan organ-organ tubuhnya untuk
kepentingan transplantasi adalah amoral. Di sini, sekali lagi Katekismus Gereja
Katolik mengajarkan, “Langsung menyebabkan keadaan cacat atau kematian
seseorang, selalu dilarang secara moral, meskipun dipakai untuk menunda
kematian orang lain” (No. 2296), suatu point yang digarisbawahi oleh Bapa Suci.
Transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup ke seorang lainnya
jauh lebih rumit. Kemampuan untuk melakukan transplantasi ginjal yang pertama
kali pada tahun 1954 menimbulkan suatu debat sengit di antara para teolog.
Debat berfokus pada prinsip totalitas - di mana dalam keadaan-keadaan tertentu
seorang diperkenankan untuk mengorbankan salah satu bagian atau salah satu
fungsi tubuhnya demi kepentingan seluruh tubuh. Sebagai contoh, seorang
diperkenankan mengangkat suatu organ tubuh yang sakit demi memelihara kesehatan
seluruh tubuhnya, misalnya mengangkat rahim yang terserang kanker. Namun
demikian, para teolog ini berargumentasi bahwa seorang tidak dapat dibenarkan
mengangkat suatu organ tubuh yang sehat dan mendatangkan resiko masalah
kesehatan di masa mendatang apabila hidupnya sendiri tidak berada dalam bahaya,
misalnya pada kasus seorang mengorbankan sebuah ginjal yang sehat untuk didonorkan
kepada seorang yang membutuhkan. Operasi yang demikian, menurut mereka,
mendatangkan pengudungan yang tidak perlu atas tubuh dan karenanya amoral.
Sebagian teolog lainnya beragumentasi dari sudut pandang belas kasih
persaudaraan, yaitu bahwa seorang yang sehat yang mendonorkan sebuah ginjal
kepada seorang yang membutuhkan, melakukan suatu tindakan pengorbanan yang
sejati demi menyelamatkan nyawa orang. Kemurahan hati yang demikian sesuai
dengan teladan Tuhan Sendiri di salib, dan merefleksikan ajaran-Nya pada saat
Perjamuan Malam Terakhir, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling
mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar
dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh
15:12-13). Menurut para teolog ini, korban yang demikian secara moral dapat
diterima apabila resiko celaka pada donor, baik akibat operasi itu sendiri
maupun akibat kehilangan organ tubuh, proporsional dengan manfaat bagi si
penerima.
Bergerak dari alasan ini, para teolog yang “pro-transplantasi”
mempertimbangkan kembali prinsip totalitas. Mereka mengajukan argumentasi bahwa
meski transplantasi organ tubuh dari donor hidup tidak melindungi keutuhan
anatomis atau fisik (yakni adanya kehilangan suatu organ tubuh yang sehat),
namun sungguh memenuhi totalitas fungsional (yakni terpeliharanya fungsi dan
sistem tubuh sebagai suatu kesatuan). Sebagai contoh, seorang dapat
mengorbankan satu ginjalnya yang sehat (adanya kehilangan dalam keutuhan
anatomis) dan masih dapat memelihara kesehatan dan fungsi tubuh yang layak
dengan ginjal yang tersisa; donor yang demikian secara moral diperkenankan.
Tetapi, dengan alasan yang sama, seorang tidak dapat mengorbankan satu matanya
untuk diberikan kepada seorang buta, sebab tindakan yang demikian menganggu
fungsi tubuhnya.
Paus Pius XII setuju dengan pemahaman
belas kasihan ini dan juga tafsiran yang lebih luas dari prinsip totalitas;
sebab itu beliau memaklumkan transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup
secara moral diperkenankan. Bapa Suci menggarisbawahi point bahwa donor
mempersembahkan korban diri demi kebaikan orang lain. Paus Yohanes Paulus II
juga menegaskan point ini, “… Setiap transplantasi organ tubuh bersumber dari
suatu keputusan yang bernilai luhur: yakni keputusan untuk memberi satu bagian
dari tubuhnya sendiri tanpa imbalan demi kesehatan dan kebaikan orang lain. Di
sinilah tepatnya terletak keluhuran tindakan ini, suatu tindakan yang adalah
tindakan kasih sejati. Bukan sekedar memberikan sesuatu yang adalah milik kita,
melainkan memberikan sesuatu yang adalah diri kita sendiri….” (Amanat kepada
Partisipan dalam Kongres Transplantasi Organ, 20 Juni 1991, No. 3).
Namun demikian, transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup kepada
seorang yang lain wajib memenuhi empat persyaratan: (1) resiko yang dihadapi
donor dalam transplantasi macam itu harus proporsional dengan manfaat yang
didatangkan atas diri penerima; (2) pengangkatan organ tubuh tidak boleh
mengganggu secara serius kesehatan donor atau fungsi tubuhnya; (3) perkiraan
penerimaan adalah baik bagi si penerima, dan (4) donor wajib membuat keputusan
dengan penuh kesadaran dan bebas dengan mengetahui resiko yang mungkin terjadi.
Dalam tulisan selanjutnya, kita akan melanjutkan pembahasan kita mengenai
transplantasi organ tubuh dengan memeriksa beberapa masalah yang mendatangkan
dampak atas moralitas.
2.4 Hukum Transplantasi
Dari segi hukum, transplantasi organ, jaringan dan sel tubuh
dipandang sebagai suatu hal yang mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan
manusia, walaupun ini adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pidana yaitu
tindak pidana penganiayaan, tetapi mendapat pengecualian hukuman, maka
perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana,dan dapat dibenarkan.
Dalam PP No.18 tahun 1981 tentana bedah mayat klinis, beda mayat anatomis dan transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia tercantum pasal tentang transplantasi (Arifin, 2009) sebagai berikut :
Dalam PP No.18 tahun 1981 tentana bedah mayat klinis, beda mayat anatomis dan transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia tercantum pasal tentang transplantasi (Arifin, 2009) sebagai berikut :
Pasal 1.
c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringa tubuh
yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi)
tertentu untuk tubuh tersebut.
d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mmempunyai bentuk
dan faal (fungsi) yang sama dan tertentu.
e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk
pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain
dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang
tidak berfungsi dengan baik.
f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan
tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan.
g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh
ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan atau denyut
jantung seseorang telah berhenti.
Ayat g mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas, maka
IDI dalam seminar nasionalnya mencetuskan fatwa tentang masalah mati yaitu
bahwa seseorang dikatakan mati bila fungsi spontan pernafasan dan jantung telah
berhenti secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi
kematian batang otak.
Pasal 10.
Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia dilakukan
dengan memperhatikan ketentuan yaitu persetujuan harus tertulis penderita atau
keluarga terdekat setelah penderita meninggal dunia.
Pasal 11
1.Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh
dilakukan oleh dokter yang ditunjuk oleh menteri kesehatan.
2.Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh
dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan
Pasal 12
Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang
tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.
Pasal 13
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksudkan yaitu dibuat
diatas kertas materai dengan 2 (dua) orang saksi.
Pasal 14
Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan
transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia,
dilakukan dengan persetujuan tertulis dengan keluarga terdekat.
Pasal 15
1. Sebelum
persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan
oleh donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh
dokter yang merawatnya,
2. Termasuk
dokter konsultan mengenai operasi, akibat-akibatya, dan kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi.
2. Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin
benar, bahwa calon donor yang bersangkutan telah meyadari sepenuhnya arti dari
pemberitahuan tersebut.
Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak
dalam kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.
Pasal 17
Dilarang memperjualbelikan alat atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh
manusia dan semua bentuk ke dan dari luar negeri.
Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan
dicantumkan beberapa pasal tentang transplantasi sebagai berikut:
Pasal 33.
1. Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat
dilakukan transplantasi organ dan jaringan tubuh, transfusi darah, imflan obat
dan alat kesehatan, serta bedah plastik dan rekontruksi.
2. Transplantasi organ dan jaringan serta transfusi darah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan,
yang dilarang untuk tujjuan komersial.
Pasal 34
1. Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu dan dilakukan disarana kesehatan tertentu.
2. Pengambilan organ dan jaringan tubuh dari seorang donor
harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli
waris atau keluarganya.
3. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan
transplantasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
ASPEK ETIK TRANSPLANTASI
Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong
seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. dari segi
etik kedokteran tindakan ini wajib dilakukan jika ada indikasi, berlandaskan
dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) (Arifin, 2009), yaitu:
Pasal 2.
Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut
ukuran tertinggi.
Pasal 10.
Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya
melindungi hidup insani.
Pasal 11.
Pasal 11.
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita.
Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun
1981, pada hakekatnya telah mencakup aspek etik, mengenai larangan memperjual
belikan alat atau jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi atau meminta
kompensasi material.
Yang perlu diperhatikan dalam tindakan transplantasi adalah
penentuan saat mati seseorang akan diambil organnya,yang dilakukan oleh (2)
orang dokter yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan
transplantasi, ini erat kaitannya dengan keberhasilan transplantasi, karena
bertambah segar organ tersebut bertambah baik hasilnya. tetapi jangan sampai
terjadi penyimpangan karena pasien yang akan diambil organnya harus benar-benar
meninggal dan penentuan saat meninggal dilakukan dengan pemeriksaan elektroensefalografi
dan dinyatakan meninggal jika terdapat kematian batang otak dan sudah pasti
tidak terjadi pernafasan dan denyut jantung secara spontan.pemeriksaan
dilakukan oleh para dokter lain bukan dokter transplantasi agar hasilnya lebih
objektif.
5 komentar:
terimakasih ka ditya tentang infonya, bermanfaat untuk saya untuk menyelesaikan tugas dari dosen.
sama2 dik yanti..
kak, trimakasih bermanfaat banget buat aku tapii aku boleh minta sumber"y ga?
:D
#nawar
:(
please
:(
tolong ada footnotenya g? kalo bisa dikasih... jadi bisa liat sumbernya yang bertanggung jawab..
Kalau mau sumber yg lengkap cari di buku dg mngunjungi toko buku terdekat di kota anda,,
hahhaa
Posting Komentar
Tolong komentarnya teman - teman, untuk menjadikan blog ini semakin berkualitas dan bermanfaat. Terima Kasih :)